Kamis, 04 Februari 2010

MAKNA TAHUN BARU

HIJRAH DAN JIHAD PADA ZAMANNYA

oleh MUHAMMAD ABDUL NAFI' *

Tahun baru Hijriyah telah tiba, kata kebanyakan Ulama' disaat memasuki tahun baru yang paling utama yang harus dikoreksi adalah amal perbuatan. Sudahkah satu tahun yang telah dilalui termasuk dalam cacatan waktu yang berisikan pahala, ataukah justru sebaliknya. Sudah seharusnya sebagai seorang muslim setiap saat selalu berintrospeksi, hari demi hari harus selalu lebih baik. Rasulullah SAW menyatakan, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, ia adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan hari kemarin, berarti ia orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka ia adalah orang celaka". Kalau terdengar kata Hijriyah sudah barang tentu akan teringat peristiwa besar, yaitu Hijrah Rasulullah SAW dari Mekah Al-Mukarramah ke Al-Madinah Al-Munawwarah. Peristiwa dimana seorang manusia yang terusir dari tanah kelahirannya. Peristiwa dimana menjadi moment seorang sahabat mengaplikasikan kecintaannya pada orang yang ia kagumi dengan menemani perjalanan malam dengan menempuh jarak yang jauh dan bahkan rela menemani berdiam di sebuah gua (Gua Tsur). Peristiwa besar yang menjadikan perubahan besar dan cepat (revolusi) bagi tatanan struktural maupun kultural dunia. Kendati peristiwa besar itu terjadi sudah lebih dari 14 abad silam, namun pengaruhnya masih terus berlangsung dalam kehidupan kaum muslimin.

Hijrah adalah sunnatullah (sistem Allah) dalam kehidupan para Nabi dan Rasul, seperti nabi Ibrahim, Yunus, Yusuf, Musa dan terakhir Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu, mereka melakukannya. Tanpa hijrah, mustahil mereka bisa menegakkan agama Allah. Tanpa hijrah, tidak mungkin para pengikut setia mereka dapat keluar dan bebas merdeka dari sistem jahiliyah dan penindasan yang dilakukan para penguasa zalim terhadap mereka, apalagi untuk menjalankan agama Allah dengan sempurna.

Sebab itu, Allah jadikan hijrah itu salah satu pilar utama penegakan Islam setelah Iman dan sebelum jihad. Di samping itu, hijrah juga syarat memperoleh perlindungan bagi seorang Mukmin dari saudara-saudaranya yang lain. Allah SWT berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi (saling menolong)”(QS.Al Anfal : 72).

Melihat firman Allah SWT tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa dengan hijrah yang nantinya mendapat pertolongan dari Allah SWT, hijrah ternyata juga selalu dikaitkan dengan jihad. Perintah berhijrah selalu diiringi dengan perintah berjihad, ataupun sebaliknya. Hijrah dan jihad sudah selayaknya selalu dikibarkan di muka bumi ini.

Dalam perjalanan waktu, baik hijrah maupun jihad mengalami perbedaan makna (interpretasi) bagi setiap individu. Pendapat pertama, memandang bahwa hijrah dari dulu zamannya Rasulullah SAW sampai sekarang tetap sama, yaitu Hijrah Makani. Hijrah berpindah-pindah tempat demi menegakkan dan mensyiarkan Islam. Begitu juga dengan jihad, dipandang bahwa jihad adalah mengangkat senjata terjun di medan perang. Pendapat ini sering dilontarkan oleh para ulama' jihad di Palestina maupun di sekitarnya, seperti Syekh Usamah bin Ladien, Syekh Abu Muhammad Ashim Al Burqawi, dan Syekh Abu Adam al-Maqdisi. Mereka akan berhijrah kemana saja demi menemukan lahan jihad mengangkat senjata membela Kaum Muslimin yang tertindas dan terjajah. Pendapat kedua, memandang hijrah dan jihad adalah sesuai dengan kondisinya. Hijrah dan jihad harus senantiasa ditegakkan, tetapi dengan cara yang jauh berbeda dari pendapat yang pertama. Pendapat yang kedua memandang dan mengaplikasikan hijrah dan jihad lebih mengutamakan pada kondisi riil yang terpuruk menuju pada kondisi yang lebih baik, tidak harus berpindah-pindah tempat. Hal ini bisa diperlihatkan beberapa contoh yaitu hijrah dari jahiliyah kepada Islam, dari syirik dan kafir kepada iman dan tauhid, dari kebodohan kepada ilmu, dari kemiskinan kepada kecukupan, dari kerakusan dan ketamakan kepada qana’ah, dari kemungkaran kepada ma’ruf, dari maksiat kepada ketaatan, dari kemalasan kepada kesungguhan, dari kesombongan kepada tawadhu’ (kerendahan hati), dari egois kepada empati, dari pelit kepada pemurah dan dermawan, dari cinta dunia kepada cinta akhirat dan seterusnya. Begitu pula dengan makna jihad, sesuai dengan konteksnya. Dalam bukunya “Revolusi Sosial Islam, Dekonstruksi Jihad dalam Islam”, Jamal Albana berargumen : “Jihad masa kini bukanlah bagaimana kita mati di jalan Allah, melainkan bagaimana kita hidup di jalan Allah”.

Jihad Islam pertama pada masa Rasulullah SAW dan Khulafa'ur Rasyidin memang dilakukan demi melawan Kisrawiyyah (Persia), Qaysariyyah (Romawi), dan sistem-sistem kelas sosial yang menindas dan menafikan rakyat jelata. Lalu di abad lalu (akhir abad 19 dan awal abad 20) dikibarkan untuk mengembalikan kebebasan politik dan melawan penjajahan. Maka, jihad masa kini adalah demi membebaskan negeri dan rakyat Muslim dari genggaman dependensi ekonomi, keterbelakangan, dan menghadapi globalisasi. Negara dan bangsa yang sudah mulai tumbuh berkembang ini harus selalu diperjuangkan, terutama rakyatnya. Diskriminasi terjadi dimana-mana, hak-hak rakyat diambil, pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa tidak bisa dikenyam oleh seluruh rakyat, manipulasi-manipulasi laporan keuangan negara, kebijakan hutang luar negeri yang mencekik rakyat, dibukanya pintu-pintu pasar bagi komoditas-komoditas impor yang mematikan industri dan pertanian dalam negeri, pelanggaran HAM dimana-mana, selamanya dan sampai kapan pun tetap tidak akan terwujud kemandirian, kebangkitan, kehormatan, juga independensi rakyat. Sebagai kader Ulil Albab dan dengan slogannya “HMI Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa” sudah saatnya berintrospeksi dan kembali mengambil peran besar pada kemajuan umat, terutama dimulai pada moment besar ini, tahun baru Hijriyah.

* KETUA UMUM HMI KOMISARIAT WIDYA BUANA SEMARANG PERIODE 2009-2010 M

PERJUANGAN

JIHAD MELAWAN PENJAJAH SOFT COLONIZATION

Oleh : Muhammad Abdul Nafi' *

Saat teringat detik-detik 17 Agustus 1945, sudah barang tentu hati akan terenyuh dan terharu. Perjuangan besar dan berat untuk mewujudkannya. Jutaan nyawa para pahlawan dikorbankan demi terwujudnya kemerdekaan fisik, bebas dari penjajah. Setengah abad lebih bangasa ini bebas dan merdeka dari penjajahan fisik. Orang bebas tanpa ada penindasan, kerja paksa, romusa, maupun kerja rodi. Sebagian besar dari mereka terhanyut dalam telaga manis (semanis madu) kemerdekaan fana. Kewaspadaan akan bahaya penjajahan baru, sama sekali tidak tertanamkan pada diri mereka. Bahkan, mereka banyak yang tidak faham kalau sampai hari ini mereka sudah mendapatkan penjajahan baru. Mereka tidak faham kalau semakin sempitnya ruang gerak mereka, rusaknya moral pemuda-pemudi bangsa, semakin berkurangnya jobs ekonomi, serta berkurangnya asset negara adalah merupakan output dari penjajahan baru. Penjajahan baru ini memang secara kasat mata tidak sesadis pada tahun 40-an yang harus ditebus dengan darah segar, peluru menghujam ke tubuh. Penjajahan baru yang dilakukan oleh bangsa barat sekarang ini melalui cara penjajahan lunak (soft colonization). Mereka menggunakan cara-cara yang diplomatis, picik , pelan tapiu pasti. Birokrat negara dipengaruhi tuk menyerahkan program dan asset-asset strategisnya melalui berbagai iming-iming jabatan strategis local, regional, maupun internasional (presiden, BI, IMF,dll).

Entah dengan pertimbangan seperti apa, para investor asing dibebas luaskan oleh para birokrat bangsa ini untuk dengan sebebas-bebasnya menamkan investnya, bahkan ada ratusan yang dengan izin resmi mendirikan perusahaan corporation di negeri ini. Akibatnya, walaupun ribuan pabrik industry tumbuh berjamuran di negeri ini, nasib rakyat masih sama. Mayoritas masih hidup dalam jurang kemiskinan, kebodohan, dan teraniaya. Triliunan kekayaan bangsa ini dirampas oleh bangsa barat dengan soft colonizationnya. Dengan gaji Rp 800.000,00 sampai Rp 1.500.000,00/ bulan rakyat sudah banyak yang merasa puas. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu kalau dibalik kebijakan para pemilik pabrik industry (rata-rata orang Barat) yang mempekerjakan rakyat local, ternyata merampas kekayaan bangsa yang kalau bisa dimiliki oleh rakyat secara menyeluruh bisa diwariskan tujuh turunan (observasi selama tiga bulan terakhir : April, Mei, Juni).

Ini menjadi PR bersama, terutama kaum intelektual muda untuk bisa mengawal, advokatoris, mengarahkan, serta mengkonsep perekonomian bangsa yang berbasis kerakyatan (oleh, dari, dan untuk rakyat) dan berorientasi pada keadilan. Pendidikan cara berfikir kritis juga harus digerakkan di lingkungan rakyat agar segala bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah bisa dikaji rakyat dan dapat memfokuskan pada kepentingan kesejahteraan bangsa, bukan kesejahteraan para penjajah soft colonization. Kalau tidak sekarang kapan lagi, sudah saatnya Bangsa ini merdeka dari semua bentuk penjajahan. Harapan besar rakyat kepada para pemimpin bangsa untuk segera sadar dan terbuka mata penglihatannya akan kondisi riil rakyat.
* Ketua Umum HMI Komisariat Widya Buana Periode 2009-2010 M

GALLERY